The People’s Party report

Uncategorized

Written by:

Jika saya diizinkan untuk mempersonifikasikan Metronomy, maka saya akan menggambarkannya dalam wujud seorang gadis sensual dengan kibasan rok mini yang mampu membuat leher tercekat. Bersama The Jazabels, Bombay Bicycle Club, dan The Naked and Famous, Jumat (13/1), mereka tampil didepan ribuan publik tanah air dalam rangkaian The Peole’s Party yang hari itu diadakan di Fairground, Jakarta.

Karena satu dan lain hal, saya datang terlambat malam itu. Sebuah kerugian besar karena keterlambatan itu membuat saya kehilangan kesempatan menyaksikan Roman Foot Soldiers yang menjadi aksi lokal pembuka malam itu, serta The Jazabels yang menjadi penampil berikutnya. Alhasil niat semula ingin menikmati tarikan vokal dan aksi lempar poni Hayley Mary harus saya kubur dalam-dalam.

Saya memasuki venue sekitar lewat pukul delapan malam, saat Bombay Bicycle Club (BCC) bergegas memulai aksi mereka. Kalau boleh jujur, BCC bukanlah tipikal musik yang saya putar setiap hari. Tapi jika saya melihat bagaimana crowd bergoyang hebat malam itu, saya pikir BCC telah melakukan tugas mereka dengan baik. Saya sendiri suka ‘Your Eyes’, dan saya senang BBC mencantumkan lagu itu dalam setlist mereka.

The Naked and Famous? Untuk mendapat klimaks maksimum, anda harus merapatkan telinga pada kerja bebunyian elektronik yang menjadi fondasi dari sebagian besar lagu mereka. Sex-appeal mereka ada di sana. Jangan lupakan juga kombinasi tarikan vokal Alysa Xayalith dan Thom Powers yang membuat The Naked and Famous terasa bagai mobil kencang bermesin ganda. Sayangnya penampilan meraka yang dibuka dengan ‘All of This’, dan ‘Punching in a Dream’ itu menurut saya terasa begitu singkat. Bagaikan ejakulasi dini, mereka mengguyur penonton dengan kenikmatan musikal, yang sayangnya dengan durasi yang begitu singkat. Beruntung mereka punya Alysa untuk menutupi hal itu: kombinasi kaki jenjang dan rok mini memang tidak pernah gagal.

Dan setelah menunggu sekian lama pasca The Naked and Famous turun panggung, akhirnya Metronomy muncul juga. Berlatarkan empat buah gambar besar yang masing-masing mengilustrasikan ke-empat wajah personelnya, Metronomy membuka penampilan mereka malam itu dengan ‘We Broke Free’ dan ‘Love Underlined’. Sepertinya mereka memang tidak datang dengan main-main. Jika anda pernah menyaksikan aksi live mereka di Youtube dan menemukan lampu ala Iron Man menempel di dada mereka, anda juga akan menemukannya pada penampilan mereka malam itu. Bagian yang paling saya tunggu tentu saja pada bagian solo keyboard pada ‘The Look’ yang mampu memberi anda efek ‘terbang’ yang menyenangkan. Malam itu, saya berhasil mendapatkannya.

Diluar itu, aksi panggung Metronomy adalah vitamin tersendiri buat mata anda. Basis Gbenga Adelekan adalah favorit saya. Pergerakan basis berkulit hitam ini di atas panggung bagai mesin waktu yang mampu melempar anda jauh hingga pada era saat Motown berjaya. Semua itu belum termasuk sang instrumentalis Oscar Cash, yang dengan olah tubuh teatrikal-nya, bak aristrokat yang tersesat dalam riuh-rendah musik jalanan. Mereka, lebih dari sekedar memainkan musik bagus.

Pada beberapa momen tata suara malam itu terasa tidak maksimal, terutama pada awal penampilan Metronomy saat dentuman suara bass terdengar begitu memekakkan telinga sehingga membuat banyak penonton di barisan terdepan menutup telinga mereka. Meski begitu manajemen tata cahaya berjalan prima sepanjang acara dan sukses menangkap momen-momen kritikal dari setiap band yang tampil. Secara keseluruhan, jika anda membutuhkan sebuah konser sebagai pembuka untuk rentetan konser musisi mancanegara yang sepertinya akan habis-habisan menggempur Indonesia tahun ini, The People’s Party malam itu bukanlah solusi yang buruk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *