Ramayana Soul – Sabdatanmantra

FeaturedReviews

Written by:

Dua minggu lalu, saya membeli kaset—karena kaset—dari LP perdana Ramayana Soul berjudul Sabdatanmantra.

Apa ini? Replika Rubber Soul dengan semangat Guruh Gipsy? Barangkali tidak. Identitas yang terekam di benak saya masih bewarna merah jambu dari lighting show saat saya pertama mengenal mereka, dan belum berubah.

Perkenalan saya kepada musik Ramayana Soul terjadi di pagelaran Ruang Rupa Records Festival tahun lalu di kamp Tanakita. Saya melihat multi-instrumentalis Erlangga sedang memainkan sitarnya dan ada seseorang yang penasaran. Begitu terlihat kalau orang tersebut sedang penasaran; raut mukanya dan kecanggungan eratan pada sitar tersebut sangatlah jelas. Sitar bagaikan ketakjuban bagi si mudah senang, novelti bagi si sinis. Seperti itulah gambaran awal saya mengenai Ramayana Soul: baru, beda, tapi…eits saya tidak ingin terburu-buru memutuskan.

Lega saya ketika pertunjukan mereka berlangsung apik dan mengejutkan.

Masih terlintas beberapa memori dari aksi panggung yang ditawarkan oleh band asal Jakarta ini: akrobatis, melakonlis, sensual, sampai emosi apapun yang dibarengi oleh teriakan anarkis dari Angga di sela-sela lagu tentang ‘pelacur di kemayoran.’ Adapun saya cangggung untuk lebih mengenal Ramayana Soul lebih lanjut, musik mereka sudah cukup menyerukan misteri identitas mereka .

Ramayana Soul adalah kelompok band yang bermain musik orisil selagi mengakui kalau “band psikedelik mana yang melemparkan batu pertama ke tatanan musik psikedelia?”

Kembali ke album Sabdatanmantra.

Pembuka “Alumunium Foil” sangatlah enak untuk didengar, dengan iringan organ, bass dari Irfan, permainan gitar dari Wawan dan permainan vokal antara Angga dan Ivon Destian—ko-vokalis—yang sangat rapi.

Saya tidak suka dengan termin ‘eksperimental.’ Menurut saya, masih banyak kata sifat lain yang cocok untuk mengganti eksperimental. Ini jelas saya pikirkan setelah teriakan terakhir Angga di “Alumunium Foil” bersambung ke “Jaya Raya MiraNgga Bhinneka Tunggal Ika,” sebuah nomor akustik riang yang mulai memperkenalkan alunan sitar. Di sini, saya merasa kalau Sabdatanmantra mengenal keseimbangan.

Setelah dua lagu tersebut, saya senang mendengarkan lagu-lagu setelahnya: “Perlahan Terjatuh” dengan vokal dan lirik kabur makna dari Angga sebagai momen yang wah, menyambung secara segue ke “Dimensi Dejavu”; sang lagu ‘pelacur di Kemayoran.’ Ivon dan Angga, serasi setiap saat, merupakan ko-vokalis yang tahu kapan berhenti, tahu kapan mulai, dan semuanya yang di tengah. “Rhaksasa” mengingatkan saya pada lagu terliar Animal Collective…dan saya juga kaget menyadarinya. “Terang” merupakan nomor orkestral yang hampir mirip dari lagu “Perlahan Terjatuh,” dan dari sini jelas saja mengapa proyek dari mantan gitaris Pestolaer ini mengganggap kalau Ramayana Soul adalah proyek ‘spiritualnya.’

“Mawar batu abadi selalu selama-lamanya di hati” menjadi latar belakang dari nomor yang berlangsung selama 12 menit tanpa jeda yang jelas. “Mawar Batu” merupakan salah satu lagu Indonesia terepik (sejak Guruh Gipsy di Indonesia Maharrdika), dengan energi yang tidak habis-habisnya, dan permainan sitar yang mulus seperti pantat bayi. Lagu ini diakhiri oleh freakout, jrang-jreng berantakan dari Wawan, Angga, Ivon, dan mungkin siapapun yang ada di studio pada hari itu. Wah. Sabdatanmantra belok ke arah yang lebih berani dan saya sangat lega “Mawar Batu” tidak menghentikan alur dari album ini. “Dawai Batu Gadjah,” kembali lagi ke alunan akustik riang a la “Jaya Raya MiraNgga Bhinneka Tunggal Ika” dengan mantra (sebelum saya lupa, hal lain yang saya kagumi adalah keputusan menggunakan lirik bahasa Indonesia. Memang cukup sepele, tapi kesan selalu baik darinya) “ku dengar nada dawai batu gadjah,” sebelum menyebutkan ‘negeri khayangan’ di penghujung album.

Proyek spiritual mungkin adalah hal yang pas dikenakan bagi Angga dan Ramayana Soul. Adapun hasilnya membuat setiap detik Sabdatanmantra bagi saya adalah awal yang semoga tidak dibiarkan ada akhir.

• Stanley Widianto

Comments are closed.