DNA seorang penari jelas tertanam kuat dalam tubuh seorang Jonathan Pierce. Blowfish, Jakarta, 25 Mei 2011, adalah saksinya. Sepanjang konser berangsung, lelaki ini mampu membakar stamina penonton dengan liukan tubuhnya. Dengan ukuran panggung yang kecil, serta penonton yang begitu rapat tanpa pembatas di bibir panggung, tidak sulit bagi Jonathan untuk membuat penonton berada di bawah kendalinya.
Tapi salah jika ada yang menyebut The Drums semata ada pada sosok Jonathan saja. Karena dua core-member mereka, Connor Hanwick dan Jacob Graham adalah otak dibalik segala bebunyian yang terdengar pada malam itu. Connor, yang pada malam itu menyabotase gitar, berdiri bisu di ujung kiri panggung, sementara Jacob berkonsentrasi pada tumpukan keyboard dengan sesekali menggerakkan tangannya mengatur tempo bagai seorang dirigen dalam upacara bendera. Kebetulan saya berdiri tepat di depan Myles Matheny, additional gitaris/bassis mereka, dan saya juga menikmati aksinya. Terutama pada cabikan bass-nya yang mengingatkan saya pada Joy Division, sang nabi bagi para penganut post-punk.
Saya mengamati bahwa hampir seluruh lagu yang mereka bawakan pada malam itu, dibuka dengan hentakan drum. Begit naik ke atas panggung, The Drums tanpa basi-basi langsung menggeber ‘What You Were’ yang menjadi sumbu pembuka malam itu. Lagu rayuan gombalan pada sang pujaan hati, ‘Me and The Moon’ langsung dimainkan setelahnya. Jeda pasca lagu kedua, Jonathan sedikit bercerita bahwa lagu yang akan mereka mainkan berikutnya bercerita tentang sahabat baiknya, yang ternyata adalah ayahnya sendiri. Penonton yang tahu lagu apa yang dimaksud Jonathan, langsung menggelinjang begitu hentakan drum membuka ‘Best Friend’ yang dimainkan sebagai lagu ketiga.
Dengan hanya bermodal satu album dan satu EP, awalnya saya ragu konser ini akan dipadati penonton. Ternyata perkiraan saya salah dengan melimpahnya penonton malam itu. Terlebih banyak diantara mereka yang hapal lirik The Drums luar-dalam, bahkan untuk lagu-lagu baru mereka sekalipun. ‘Let’s Go Surfing’ tentu saja adalah puncak dari segalanya. Anthem ini bagai pisau tikam yang siap menusuk siapapun yang berani menolak bergoyang begitu intro ini dibunyikan. Begitu besar dampak lagu ini hingga akhirnya membuat Connor berhenti bertingkah bagai zombie bisu. Inilah satu-satunya lagu dimana dia memasang raut muka yang ekspresif yang membuatnya tampak lebih manusiawi. ‘Forever and Ever, Amen’ adalah lagu terakhir sebelum The Drums turun panggung, lalu kembali lagi membawakan encore.
Total jenderal, tiga buah encore dibawakan sekembalinya The Drums dari balik panggung. ‘The Future’ yang menjadi lagu terakhir di album perdana mereka, terpilih menjadi lagu penutup malam itu. Sebenarnya saya sangat menikmati konser malam itu, juga untuk sound-system yang cukup nyaman di telinga. Sayangnya durasi konser yang hanya satu jam saja, terasa menyisakan ganjalan saat saya bergerak pulang begitu konser berakhir. Kalau boleh berandai, mungkin malam itu akan lebih sempurna jika The Drums menyiasati pendeknya durasi konser mereka dengan menambahkan beberapa cover-version (misalnya) dari The Smiths, Joy Division, atau musisi manapun yang mereka suka. Saat di akhir konser Jonathan mengungkapkan harapannya untuk dapat menyambangi Jakarta lagi tahun depan, saat itu pula saya berdoa, semoga jika hal itu terjadi, mereka bersedia membawa set-list dengan durasi yang lebih panjang demi melunasi ejakulasi musikal saya yang tertunda.
Words: Risyad Tabattala
Photos: Agra Suseno & Claudia Dian