Penimbun

Artikel/OpiniFeatured

Written by:

Jadi ada musisi kesayangan kamu yang menginvestasikan waktu dan daya kreatifitasnya untuk merekam sebuah karya musik, label favorit kamu yang mencurahkan modal dan tenaga untuk produksi dan menyusun strategi promosi dan penjualan; mereka mengumumkan rilisan ekslusif terbatas yang akan dirilis di event record fair seharga Rp.300.000,-. Kamu segera mengantisipasi event tersebut sambil mengirit makan diluar demi membeli rilisan tersebut. Uang terkumpul, baju sudah rapih, siap berangkat, tapi siapa nyana karena mencret-mencret, jadwal berangkat jadi terlambat dan hanya ada tulisan “sold out” saat kamu tiba di lokasi penjualan.

Pada kondisi tersebut kamu hanya bisa ikhlas merelakan dan gigit jari, dan mulai melihat-lihat koleksi lain, sampai tidak lama kemudian kamu menengok kesebuah meja dan ada orang menjual rilisan tersebut seharga Rp.1.000.000,-… kan tokai.

Semua orang saya rasa mengerti: jika suplai sedikit sementara permintaan banyak maka harga akan naik. Terutama jika akses ke barang tersebut menjadi sulit, seperti barang-barang di pasar gelap yang seringkali harganya setinggi antariksa. Tetapi ini lebih mirip pemerasan daripada mekanisme harga pasar.

Kolektor
Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini terlihat perkembangan signifikan jumlah penggemar musik yang merupakan kolektor artefak kebudayaan dalam rupa rekaman audio dan benda-benda koleksi yang berhubungan dengan musisi-musisi berbakat. Termasuk diantaranya semakin banyak pengarsip perjalanan sejarah kancah musik berdikari Indonesia.

Jika butuh barometer, coba cek jumlah pengikut jejaring sosial penyalur/penjual rekaman itu biasanya relatif besar. Coba juga perhatikan forum-forum dan postingan pengumuman rilisan baru maka biasanya akan ditemukan sejumlah besar komentar singkat seperti “hold” atau “cek pm”. Petanda lainnya adalah sukses nya Record Store Day di berbagai daerah, ditandai dengan ‘sold out’ pada sebagian besar rilisan ekslusif RSD 2015. Mengagumkan ya.

Saya tadi menyebutkan “sulit didapat” dan “sulit dijangkau”, artinya tidak semua orang memiliki akses cepat ke barang-barang yang menjadi hasrat kebendaannya. Bisa jadi dia kalah cepat mengetik ‘hold’, saat event dia ada keperluan mendadak lain yang penting, atau halangan-halangan lainnya.

Mule, Scalper, Flippers
Maka biasanya ada dua cara yang dilakukan kolektor obsesif: satu mengirim “mule” yaitu meminta tolong teman yang punya akses untuk datang dan membeli barang yang dia incar, dan satu lagi adalah terpaksa bernegosiasi dengan ‘Scalper‘ (asshole yang memborong benda incaran kita, dengan tujuan dijual lagi dengan margin eksponensial).

Juga ada istilah “flippers” yang sering mengacu pada assholefakingsit yang dengan sengaja membeli sebuah benda koleksi yang berhubungan pada sebuah band, kadang disertai tandatangan band bersangkutan dan tidak lama kemudian sudah berada di eBay atau meja dagangan dengan harga yang membuat manusia normal memaki-maki.

Perbedaan paling besar dari flipper, scalper dan pedagang jujur menurut saya adalah pada ‘spekulasi’. Pedagang jujur mungkin akan tetap membeli dan menjual kembali benda-benda duniawi tersebut tetapi ia seharusnya tidak berspekulasi barang ini akan naik harga dua kali lipat sebelum menjualnya kembali sehari setelah rilis. Margin yang menurut saya wajar adalah 10-30% jika memang waktu penjualannya masih hari-H dan seratus hari setelahnya.

Penimbun
(*edited) Istilah penimbun sebenarnya kurang tepat untuk situasi ini, karena beberapa orang memang menimbun barang untuk berbagai keperluan seperti trade, arsip (seperti saya seringkali membeli lebih dari satu kopi, supaya kalau yang satu rusak/hilang masih ada lagi), diberikan ke teman, atau karena saat ini tidak laku maka beberapa penjual seperti Agus di Warung Musik akan menyimpannya dulu.

Sementara penimbun yang dimaksud adalah pihak yang sengaja berspekulasi membeli benda-benda yang sedang laku dan menyimpan benda koleksi yang sulit didapat untuk dijual kembali dengan harga yang tidak terkira. Istilah saya Penimbun Spekulan, namun demi singkatnya kita sebut saja Penimbun.

Memang ngeselin, tetapi pasarnya selalu ada. Tentu saja walau terdengar konyol, akan ada saja yang membeli vinyl-vinyl limited dengan harga hampir 3 kali lipat. Kalaupun bulan ini belum terjual, maka bulan depan akan semakin langka kan ya? Apalagi kolektor banyak yang berfikir “lebih baik hemat makan daripada nyesel ga jadi dapet”. “Duit bisa dicari, tapi vinyl Homicide belum tentu besok atau sejam atauuu semenit lagi lagi masih ada”.

Perbuatan-perbuatan penimbun dan pembeli benda timbunan ini akan mengurangi esensi dari benda ekslusif. Karena sebuah benda ekslusif/limited edition tentu jauh lebih bermakna jika kita mendapatkannya sesuai aturan main yang ditetapkan. Misal bangun pagi-pagi untuk datang ke event demi mendapatkan t-shirt limited edition yang asoi, atau mengantri ditengah pengapnya ruangan dan bau keringat demi memuaskan hasrat mendapatkan versi rekaman yang kita incar.

Kadang sambil membayangkan rasa bahagia saat membuka bungkus kaset baru, lalu menghirup aroma yang mungkin selamanya melekat dibenak kita dan terasosiasi dengan rasa bahagia. Dilanjutkan dengan memutar rilisan tersebut sambil tiduran di sofa dan membaca lirik atau liner notes yang panjang . Sementara suara kresek-kresek membelai sanubari.

Romantika seperti itu tidak bisa ditukar dengan hal apapun di dunia.

Dan penimbun dengan naluri sekedar cuwan bukan pada musik maka berpotensi menganggu ritual dan dompet para kolektor. Selain tentunya musisi dan label akan miris melihat harga barang-barang yang dirilis sudah seperti anak sendiri itu melambung tinggi.

Usul.
Kalau buat kamu hal penimbum ini mengusik, saya punya beberapa usul untuk musisi atau label.

• Untuk rilisan terbatas maka satu orang hanya boleh beli satu.
• Teman saya akan merilis edisi khusus CD, dan ia mengusulkan agar setiap keping diberi nama sesuai pembeli.
• Untuk rilisan non exclusive, jika permintaan masih ada maka bisa segera dicetak ulang.
• Tidak merilis konten yang benar-benar ekslusif. Bisa misalnya dikemudian hari merilis ulang konten-konten tersebut di dalam rilisan lain.
• Ini paling ngehe: yang mau beli diundi. Kalau mereka menang baru bisa beli.

Untuk sisi kolektor bisa mengusahakan untuk tidak mengeluarkan uang berlebih pada para penimbun. Kalaupun harus membeli di pasar sekunder, coba usahakan membuka hubungan dengan para pedagang jujur. Di tempat mereka, beberapa barang memang akan cenderung lebih mahal dibanding yang lain tapi mereka melakukannya bukan dari berspekulasi.

Selamat berburu.

foto ini hanya ilustrasi. tidak menggambarkan penimbun yang sebenarnya.

foto ini hanya ilustrasi. tidak menggambarkan penimbun yang sebenarnya.

Comments are closed.