Pada Suatu Sore

FeaturedGigs

Written by:

Pada suatu sore, mata saya tertuju ke sebuah panggung. Di atas panggung tersebut ada sofa berwarna abu-abu dengan bantal-bantal bermotif kotak-kotak. Juga ada televisi tua yang disusun dengan rapih di atas meja kecil. Lembaran karpet menambah tampilan suasana nyaman di panggung.

Tidak lama kemudian ada orang muncul dari samping panggung, disusul oleh beberapa orang lainnya. Mereka berkemeja rapih, ada yang pakai jas dan ada yang tidak. Total ada enam orang di atas panggung, semuanya memegang instrumen musik. Mereka memperkenalkan diri sebagai Sore, dan mereka akan memainkan musik di atas panggung tersebut.

Sore adalah band yang rilisannya tercantum di “150 album terbaik Indonesia sepanjang masa “versi majalah RollingStone Indonesia tahun 2007. Mereka juga juga pernah menerima pujian

“Diantara semua band Indonesia hari ini, bagi saya yang paling bagus adalah Sore.” tertulis di 150 lagu Indonesia terbaik versi majalah RollingStone Indonesia.

Namun sepanjang ingatan saya menyaksikan Sore, rasanya tidak sering mereka tampil di venue dengan tata suara yang maksimal.

Sore itu saya berada di dalam auditorium IFI. Menurut saya Auditorium IFI adalah venue yang ideal untuk konser musik. Venue ini memiliki tata akustik yang bagus, sehingga detail dari setiap instrument akan terdengar. Tempat duduk yang hanya berjumlah 180, membuat jarak antara penampil dan penonton menjadi dekat. Sebuah situasi yang ideal untuk menikmati band berkualitas.

Coba bayangkan: band keren akan tampil di venue berkualitas yang intim. Ditambah pesan-pesan seperti: no cellphone, no camera allowed dan pertunjukan ini akan direkam dan dirilis dalam bentuk CD ekslusif. CD ekslusif itu akan bertuliskan nama kamu masing-masing. Tentu uang Rp.150.000,- untuk tanda masuk tidak terdengar mahal lagi. Coba bayangkan sekali lagi: rilisan sebuah band yang akan ‘legendaris’ nanti menuliskan nama kita di sampulnya. Betapa bangga nya nanti kita saat memamerkan artefak tersebut nanti ke anak cucu. Semua itu terdengar sperti janji untuk menjadi sebuah pengalaman menikmati musik yang mengesankan.

Maka saya sengaja mengosongkan jadwal, demi konser terbatas ini. Menikmati dua jam setlist tanpa mengeluarkan kamera dan melihat ponsel sekalipun. Sebuah ‘prestasi’ di era Instagram.

“Menyenangkan karena sepanjang SORE memainkan setnya, tidak ada fotografer dadakan yang menganggu penonton lain atau penampil.” tulis Felix Dass di status Facebook nya.

Memang tidak terlihat distraksi dari pendaran cahaya ponsel yang mengambil foto dari tempat duduk, tidak ada gerombolan ‘fotografer’ di bibir panggung. Tidak ada juga bunyi cekrak-cekrek yang ganggu. Distraksi “hanya” terjadi dari tim dokumenter resmi, yang sukses mencuri perhatian di lagu pertama. Mereka mondar-mandir di panggung demi sudut-sudut ‘terbaik’.

Orang-orang berkamera tersebut terlihat kontras dengan ‘seragam’ ala kadarnya, bersanding dengan para personel Sore yang tampil rapih. Usul saya sih lain kali mereka diberi kemeja hitam lengan panjang, dan celana panjang hitam yang rapih supaya tidak mendistraksi panggung.

Untungnya panitia cepat tanggap dengan keadaan yang ganggu itu. Terlihat panitia mengarahkan mas-mas foto/video untuk tertib. Maka di lagu-lagu berikutnya, gangguan sudah berkurang banyak. Hanya sisa satu pemuda saja yang kasihan harus jongkok disamping drum, ia ditugaskan mengambil dokumentasi Bembi. Lain kali ia bisa dibekali dengan kamera berlensa tele, tripod dan property yang bisa menutupi keberadaannya di atas panggung.

Tetapi, ingat kita ingin punya dokumentasi yang mumpuni untuk dipamerkan ke anak cucu. Jadi distraksi tadi tidak menjadi masalah bagi sebagian besar penikmat konser Sore saat itu. Karena yang penting Sore menghibur kita dengan asoi di tempat asoi, dan nanti ada CD bertuliskan nama kita di kovernya. Semoga mereka benar-benar mendapatkan gambar-gambar yang bagus untuk disertakan ke dalam dokumentasi nanti.

Selain mendoakan mereka terdokumentasikan dengan bagus, tentu saya berharap Sore memainkan lagu-lagu yang saya suka.
Yaitu beberapa single terbaru seperti ‘8’, ‘Sssst…’ dan ‘There Goes’. Tampaknya saya akan lebih menikmati album baru mereka nanti dibandingkan album-album sebelumnya. Walau album baru nanti belum tentu masuk daftar album-album terbaik sepanjang masa.

Saya memang lebih suka lagu-lagu baru, tetapi itu bukan berarti saya tidak menikmati lagu-lagu lama mereka di konser ini. Saya senang mendengarkan cerita-cerita di balik setiap lagu yang dibawakan, seperti cerita pengemis yang bersyukur di lagu ‘Etalase‘ ‘Belajar Untuk Riang’ ciptaan Bembi. Saya juga menyukai makna lagu “8” yang ditulis Ade Paloh, mengenai setiap orang dilahirkan dekat dengan Tuhan dan akan kembali dekat dengan Tuhan pada saatnya.

Di tengah pertunjukan ada kejutan dari sutradara Joko Anwar. Namun tampaknya memang setiap orang memiliki kehebatannya masing-masing, dan menjadi crooner bukan keahlian mas Joko saat ini. Bukan karena suaranya jelek, hanya masih perlu banyak berlatih dalam menemukan jati diri di dunia tarik suara.

Bicara mengenai keahlian, sebagian teman sepakat kalau Awan bisa bernyanyi lebih ‘benar’ dibanding personel Sore yang lain. Namun begitu suara Ade lah yang membuat Sore menjadi Sore, bukan band bapak-bapak peng-cover Cliff Richards. Suaranya cenderung ‘hangat’ seperti mendengarkan penyanyi keroncong veteran di kaset tua. Ada fales di beberapa bagian, tetapi penyanyi band indie pop memang harus memiliki ke-khas-an dalam fales nya. Coba dengarkan rumahsakit atau pure saturday. Bahkan Stuart Murdoch saja tidak “sempurna”.

Acara sore itu ditutup dengan encore lagu Karolina, hasil permintaan penonton. Semua puas termasuk saya.

Setelah Karolina, penonton memberikan standing applause. Kemudian keluar dengan tertib untuk kembali bersatu dengan ponsel masing-masing.

foto oleh Felix Dass.

foto oleh Felix Dass.

Comments are closed.