Sore adalah salah satu band yang turut memeriahkan skena musik selama hampir dua dekade ini. Musiknya memiliki karakter yang kuat hasil pengolahan berbagai referensi yang mereka pilih. Dengan demikian tidak sedikit pula penyanyi dan musisi asal Indonesia yang terinspirasi dari Sore, sampai muncul istilah ‘Paloh Pop’ untuk ‘nyindir’ vokalis-vokalis yang menyeret suara vokalnya.
Setelah perjalanan cukup panjang bersama; salah satu personel yang cukup penting memutuskan keluar dan bersolo karir. Lalu 7 tahun setelahnya Eca memutuskan untuk berhenti dan tidak tampil di peluncuran CD dan piringan hitam bertajuk ‘Mevrouw’ ini.
Saya pikir judul “Pergi Dengan Pesan” akan ada pesan-pesan perpisahan dari Eca, tapi ternyata tidak ada. Yaudah.
Sore tampil di Duck Down
Diberi judul “Pergi Dengan Pesan” yang tentu hasil permainan kata dari single “Pergi Tanpa Pesan”, acara ini dibuat intim di bar kecil.
Intimasi adalah salah satu kunci pemberi energi untuk band ini. Panggung-panggung kecil yang dipadati fans Sore yang rutin mendengarkan album-album mereka itu tentu membuat suasana menjadi meriah. Dengan demikian energi-energi itu terserap dengan baik dan semua rangkaian lagu menjadi memiliki nyawa. Terlepas masih ada salah-salah atau kelongkap ketukan tapi yang penting semua bahagia.
Set list buat panduan aja.
Sebuah kejutan (walau sudah diduga kalau ngelihat ada orangnya) adalah Noh Salleh menjadi vokal utama di lagu Musim Ujan. Pada suatu masa ia membuat video menyanyikan lagu ‘Musim Ujan’ dan diunggah via Youtube dan memperoleh sambutan positif. Maka saat terwujud momen ia bernyanyi bersama Sore di panggung ini itu rasanya seperti mendapat hadiah ulang tahun.
Kemudian set ditutup dengan single milik Paul McCartney dan tentunya disambung dengan paduan suara “We Want More”
Setlist dilanjutkan dengan No Fruit for Today dan satu lagi lagi kemudian ditutup dengan aksi crowd surfing oleh Ade Paloh.
Ade Paloh
Noh Salleh bersandar di punggung Ade supaya ga jatuh
Join us on a night of Janji Joni movie screening and nostalgic tunes.
.
Thursday Kicks: Janji Joni Edition
THURSDAY
15 NOVEMBER 2018
6 PM TILL LATE
.
Let nostalgia fills the air for the sake of the good ol’ times.
.
FDC 150 applies
(Presale 100)
.
RSVP AND PRESALE please whatsapp +628118490072
Akhir pekan, lounge di pinggir kolam dan musik santai itu terdengar sebagai tawaran yang menarik walau flyer acaranya lebih mirip pengumuman diskon tiket masuk di Waterboom. Tetapi line up seperti Sore, Costaroy, Gabriel Mayo, Westjam Nation, dan Bonita & Adoy membuatnya tetap menarik untuk disambangi selain karena venue relatif dekat dengan tempat tinggal saya.
Awalnya saya berencana pakai celana pendek dan kemeja bertema pantai plus bawa celana ganti kali-kali aja mau berenang dan nyanyi-nyanyi bareng Sore. Tetapi untungnya seorang teman berkata “Bro, ini Jakarta bukan Bali” sehingga saya tidak salah kostum dan ternyata memang yang menggunakan outift demikian hanya satu orang, sang ketua panitia.
Sayang juga, karena panggungnya tepat menghadap kolam jadinya penonton menyaksikan band yang tampil dari pinggir-pinggir kolam saja dengan pakaian lengkap.
Tapi ya lumayanlah bisa nonton band-band yang tampil secara gratis, sambil minum aer mineral yang harganya lebih dari 70 ribu rupiah. Mungkin lain kali, cuek aja datang lalu nonton band sambil berenang sore-sore.
Sore itu saya baru saja mendownload album no3 dari Atilia Haron di Spotify saya. Album no.3 ini dibuka dengan track “Silly Little Thing” yang merupakan hasil intrepretasi ulang lagu milik Sore, band yang setengah personelnya akan membuka konser No3 ini di Jakarta.
Saya mencoba mendengarkan album hasil download ini di perjalanan menuju venue dan mencoba mencerna lagu-lagunya. Dalam hati saya berfikir kalau lagu-lagu ini akan lebih ‘komplit’ kalau sudah pernah disaksikan live, dan mencari liriknya.
Maka sore itu saya tiba saat 1/2 Sore sudah memulai setnya, cuma berdua. Eca dan Ade masing-masing memegang gitar dan bertukar canda sambil main gitar dengan resah. Mungkin karena biasanya ada drum dan bass yang membantu menjaga ketukan, maka saat dua-duanya gitar, jadi rada-rada canggung ya.
1/2 Sore – Aku
Beberapa lagu dibawakan, dan ditutup dengan ‘Sssst’ yang juga salah satu track kesukaan saya.
1/2 Sore – Sssst
Tidak lama setelah itu, team teknis Atilia Haron mulai menyiapkan panggung.
Saya lupa urutan lagunya, namun single “No Fruit For Today” dibawakan di awal set.
Atilia Haron – No Fruit For Today
Lagu ini sudah saya dengarkan bertahun-tahun, via berbagai speaker termasuk speaker panggung ribuan watt. Dibawakan oleh Atilia Haron seperti mendapat jalan hidup yang berbeda. Gaya Sore yang cenderung lebih ekletik dan akhir-akhir ini juga semakin ‘raw’, menjadi lebih anggun. Menarik.
Selain lagu dari Sore, Atilia Haron malam itu juga membawakan beberapa lagu yang diciptakan untuknya dari Payung Teduh, Tompi sampai Maliq n D’essentials. Termasuk juga lagu yang membuat namanya dikenal di Indonesia; Silly Little Thing yang kali ini dibawakan duet bersama Ade Palloh.
Selain duet dengan Ade, ia juga memperkenalkan seorang solois asal Kuala Lumpur yang akan merilis album; namanya Lokman Aslam.
Ada hal yang menarik dari konser ini, yaitu Atilia Haron membawakan beberapa lagu milik ibunya. Membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh mengenai sang ibu, dan saya senang menemukan Salamiah Hassan seorang penyanyi pop Melayu yang besar namanya di Malaysia.
Beberapa lagu sang ibu dibawakan dengan aransemen ulang menjadi khas lagu-lagu sang anak.
Kemudian setelah konser, diperjalanan pulang saya mendengarkan kembali album No3 via perangkat digital. Setelah mendapatkan napas kehidupan dari penampilan live tadi, lagu “No Fruit for Today” mendapat tempak khusus di playlist yang saya susun.
Sementara sisanya, saya rasa akan cocok untuk mereka-mereka yang menyukai musik-musik dari Maliq n D’essentials, Abdul and the Coffe Theory atau Glenn Fredly. Namun saya ga menjamin karena menurut beberapa orang yang mengaku suka band-band tadi, mereka suka band-band tersebut karena lagunya diputar di radio.
Rupanya bagi banyak orang, Radio adalah sarana supaya sebuah lagu menjadi ‘paripurna’.
Pada suatu sore, mata saya tertuju ke sebuah panggung. Di atas panggung tersebut ada sofa berwarna abu-abu dengan bantal-bantal bermotif kotak-kotak. Juga ada televisi tua yang disusun dengan rapih di atas meja kecil. Lembaran karpet menambah tampilan suasana nyaman di panggung.
Tidak lama kemudian ada orang muncul dari samping panggung, disusul oleh beberapa orang lainnya. Mereka berkemeja rapih, ada yang pakai jas dan ada yang tidak. Total ada enam orang di atas panggung, semuanya memegang instrumen musik. Mereka memperkenalkan diri sebagai Sore, dan mereka akan memainkan musik di atas panggung tersebut.
Sore adalah band yang rilisannya tercantum di “150 album terbaik Indonesia sepanjang masa “versi majalah RollingStone Indonesia tahun 2007. Mereka juga juga pernah menerima pujian
“Diantara semua band Indonesia hari ini, bagi saya yang paling bagus adalah Sore.” tertulis di 150 lagu Indonesia terbaik versi majalah RollingStone Indonesia.
Namun sepanjang ingatan saya menyaksikan Sore, rasanya tidak sering mereka tampil di venue dengan tata suara yang maksimal.
Sore itu saya berada di dalam auditorium IFI. Menurut saya Auditorium IFI adalah venue yang ideal untuk konser musik. Venue ini memiliki tata akustik yang bagus, sehingga detail dari setiap instrument akan terdengar. Tempat duduk yang hanya berjumlah 180, membuat jarak antara penampil dan penonton menjadi dekat. Sebuah situasi yang ideal untuk menikmati band berkualitas.
Coba bayangkan: band keren akan tampil di venue berkualitas yang intim. Ditambah pesan-pesan seperti: no cellphone, no camera allowed dan pertunjukan ini akan direkam dan dirilis dalam bentuk CD ekslusif. CD ekslusif itu akan bertuliskan nama kamu masing-masing. Tentu uang Rp.150.000,- untuk tanda masuk tidak terdengar mahal lagi. Coba bayangkan sekali lagi: rilisan sebuah band yang akan ‘legendaris’ nanti menuliskan nama kita di sampulnya. Betapa bangga nya nanti kita saat memamerkan artefak tersebut nanti ke anak cucu. Semua itu terdengar sperti janji untuk menjadi sebuah pengalaman menikmati musik yang mengesankan.
Maka saya sengaja mengosongkan jadwal, demi konser terbatas ini. Menikmati dua jam setlist tanpa mengeluarkan kamera dan melihat ponsel sekalipun. Sebuah ‘prestasi’ di era Instagram.
“Menyenangkan karena sepanjang SORE memainkan setnya, tidak ada fotografer dadakan yang menganggu penonton lain atau penampil.” tulis Felix Dass di status Facebook nya.
Memang tidak terlihat distraksi dari pendaran cahaya ponsel yang mengambil foto dari tempat duduk, tidak ada gerombolan ‘fotografer’ di bibir panggung. Tidak ada juga bunyi cekrak-cekrek yang ganggu. Distraksi “hanya” terjadi dari tim dokumenter resmi, yang sukses mencuri perhatian di lagu pertama. Mereka mondar-mandir di panggung demi sudut-sudut ‘terbaik’.
Orang-orang berkamera tersebut terlihat kontras dengan ‘seragam’ ala kadarnya, bersanding dengan para personel Sore yang tampil rapih. Usul saya sih lain kali mereka diberi kemeja hitam lengan panjang, dan celana panjang hitam yang rapih supaya tidak mendistraksi panggung.
Untungnya panitia cepat tanggap dengan keadaan yang ganggu itu. Terlihat panitia mengarahkan mas-mas foto/video untuk tertib. Maka di lagu-lagu berikutnya, gangguan sudah berkurang banyak. Hanya sisa satu pemuda saja yang kasihan harus jongkok disamping drum, ia ditugaskan mengambil dokumentasi Bembi. Lain kali ia bisa dibekali dengan kamera berlensa tele, tripod dan property yang bisa menutupi keberadaannya di atas panggung.
Tetapi, ingat kita ingin punya dokumentasi yang mumpuni untuk dipamerkan ke anak cucu. Jadi distraksi tadi tidak menjadi masalah bagi sebagian besar penikmat konser Sore saat itu. Karena yang penting Sore menghibur kita dengan asoi di tempat asoi, dan nanti ada CD bertuliskan nama kita di kovernya. Semoga mereka benar-benar mendapatkan gambar-gambar yang bagus untuk disertakan ke dalam dokumentasi nanti.
Selain mendoakan mereka terdokumentasikan dengan bagus, tentu saya berharap Sore memainkan lagu-lagu yang saya suka.
Yaitu beberapa single terbaru seperti ‘8’, ‘Sssst…’ dan ‘There Goes’. Tampaknya saya akan lebih menikmati album baru mereka nanti dibandingkan album-album sebelumnya. Walau album baru nanti belum tentu masuk daftar album-album terbaik sepanjang masa.
Saya memang lebih suka lagu-lagu baru, tetapi itu bukan berarti saya tidak menikmati lagu-lagu lama mereka di konser ini. Saya senang mendengarkan cerita-cerita di balik setiap lagu yang dibawakan, seperti cerita pengemis yang bersyukur di lagu ‘Etalase‘ ‘Belajar Untuk Riang’ ciptaan Bembi. Saya juga menyukai makna lagu “8” yang ditulis Ade Paloh, mengenai setiap orang dilahirkan dekat dengan Tuhan dan akan kembali dekat dengan Tuhan pada saatnya.
Di tengah pertunjukan ada kejutan dari sutradara Joko Anwar. Namun tampaknya memang setiap orang memiliki kehebatannya masing-masing, dan menjadi crooner bukan keahlian mas Joko saat ini. Bukan karena suaranya jelek, hanya masih perlu banyak berlatih dalam menemukan jati diri di dunia tarik suara.
Bicara mengenai keahlian, sebagian teman sepakat kalau Awan bisa bernyanyi lebih ‘benar’ dibanding personel Sore yang lain. Namun begitu suara Ade lah yang membuat Sore menjadi Sore, bukan band bapak-bapak peng-cover Cliff Richards. Suaranya cenderung ‘hangat’ seperti mendengarkan penyanyi keroncong veteran di kaset tua. Ada fales di beberapa bagian, tetapi penyanyi band indie pop memang harus memiliki ke-khas-an dalam fales nya. Coba dengarkan rumahsakit atau pure saturday. Bahkan Stuart Murdoch saja tidak “sempurna”.
Acara sore itu ditutup dengan encore lagu Karolina, hasil permintaan penonton. Semua puas termasuk saya.
Setelah Karolina, penonton memberikan standing applause. Kemudian keluar dengan tertib untuk kembali bersatu dengan ponsel masing-masing.