“Maukah kau jadi jadi pacarku
Maukah kau jadi sayangku..
Maukah kau jadi cintaku..
Maukah kau jadi pacarku..pacarku..”
Jika anda berpikir penggalan lirik diatas saya ambil dari band-band instan major label yang kerap membanjiri layar kaca kita, maka anda salah. Penggalan lirik diatas saya ambil dari lagu ‘Maukah Kau Jadi Pacarku’ yang terdapat di album ‘We All Dancer’, yang sekaligus juga merupakan album kedua milik unit new wave asal Bali, Tolbandtol.
Kalau boleh jujur, saya tidak terlalu terkesan dengan lagu diatas. Terutama pada bagaimana mereka mengemas suatu tema standar, melalui sudut pandang yang stadar, serta output lirik yang juga standar.
Lagu-lagu lain, seperti ‘We All Dancer’, juga memiliki lirik yang tidak lebih baik. Ide yang mereka tawarkan, bahwa setiap manusia memiliki naluri untuk menari dalam setiap diri mereka, sebenarnya cukup menarik untuk diangkat. Sayangnya eksekusi lirikal yang monoton, termasuk repetisi kata ‘shake’ dan ‘dance’ yang sangat dominan, berhasil membuyarkan segalanya. Belum lagi penggunaan efek yang membuat beberapa bagian pada departemen vokal terdengar patah-patah, semakin membuat lagu ini terasa menjengkelkan.
Tidak seperti kebanyakan band new wave yang berasal dari kota-kota metropolitan, fakta bahwa Tolbandtol berasal dari Bali, harusnya mampu memberi mereka ide unik untuk dijual. Talking Heads menulis ‘Psycho Killer’, karena eksistensi pembunuh berantai banyak ditemui di kota asal mereka, New York. The Upstairs membungkus romantisme ala Jakarta berlatarbelakang tawuran pelajar, maka terciptalah ‘Matraman’. Tolbandtol sendiri yang notabenenya berasal dari Bali, sebuah teritori eksotis, seharusnya mampu menawarkan tema segar yang belum pernah tersentuh oleh band-band new wave metropolis manapun selama ini. Sayangnya hal tersebut luput mereka lakukan.
Bagusnya, Tolbandtol sepertinya sudah memiliki barisan penggemar fanatis di tanah kelahiran mereka. Ini merupakan modal besar yang seharusnya mampu menjaga motivasi mereka pada titik tertinggi demi menghasilkan karya-karya yang lebih dramatis di masa mendatang. Dengan begitu panjang-nya waktu yang telah Tolbandtol lampaui sebagai sebuah band, saya percaya hal itu dapat tercapai. Dan saat hal itu tercapai, semoga mereka sudah tidak memakai baju warna-warni lagi.
-Risyad Tabattala-