Minggu pertama Nusasonic dimulai dengan penyelenggaraan sejumlah lab artistik yang disebar di pusat Yogyakarta. Merangkum lebih dari 30 seniman dan praktisi dari Indonesia, Asia Tenggara, dan Eropa, kolaborasi dalam Lab Artistik Nusasonic mengurai penemuan dan komposisi musikal baru, ekspedisi sonic wilderness, serta konstelasi dan kerjasama artistik baru yang akan terus berlanjut bahkan setelah acara ini berakhir.
Lab artistik dimulai Selasa 2 Oktober lalu oleh MusicMakers Hacklab, dimana partisipan lokal dan internasional berkolaborasi mencari ide-ide baru dalam kreasi musik di bawah bimbingan Peter Kirn (CDM, Berlin) Andreas Siagian (Lifepatch, Yogyakarta), dan Lintang Radittya (Kenali Rangkai Pakai, Yogyakarta). Peter Kirn berujar: “Sangat menyenangkan melihat penemuan, kriya dan bermain bergabung sebagai aksi ansambel. Inilah seniman/musisi yang mengakhiri tiap malamnya dengan bermain musik bersama tapi juga saat memberikan ide mengenai ruang teatrikal, kostum, video – keseluruhan pengalaman. Yogyakarta adalah tempat yang saya impikan, karena tradisi bermain ansambel, pembuatan instrumen, dan performans multimedia berasal dari sini. Sungguh indah untuk berada di sini dan menyaksikan kelompok seniman/musisi dari berbagai negara melakukan eksperimen dalam area-area tersebut dan menghubungkannya satu sama lain.” Partisipan Hacklab kemudian mempertunjukkan karya mereka pada konser penutupan tanggal 13 Oktober di Eloprogo Art House.
Pada hari Jumat 5 Oktober akan dimulai dua residensi singkat, menyusun ulang dua konstelasi artistik baru. Kuartet yang terdiri dari musisi perkusi ekperimental Cheryl Ong dan Riska Farasonalia, seniman bebunyian eksperimental Kok Siew-Wai, serta pianis Nadya Hatta mampu membuahkan rekaman untuk kaset 2-track yang akan dirilis oleh label Singapura Ujikaji, dari hasil sesi latihan mereka. Kok Siew-Wai menjelaskan: “Awalnya kami semua sangat ‘sopan’ dan berusaha mendukung satu sama lain, namun agak segan dalam mengekspresikan diri seutuhnya. Namun seiring berlanjutnya sesi hari berikutnya, “suara asli” masing-masing mulai muncul dan di sinilah saat musik menjadi dinamis dan menarik. Kelompok ini cenderung menyediakan basis yang suportif secara kolektif, yang memungkinkan keunikan masing-masing musisi terekspresi, dan lebih lanjut mengeksplorasi bunyi-bunyi kolektif baru. Beberapa momen yang sungguh halus memiliki kualitas feminis yang unik.”
Untuk kolaborasinya, Erick Calilan dan Duto Hardono mengeksplorasi Eloprogo Art House, mengambil inspirasi dari jaring besi yang menyatu pada jendelanya, sebagaimana jaring-jaring indah yang dijalin oleh laba-laba Eloprogo. Performans site-spesific mereka akan diadakan dua kali selama program berlangsung di Eloprogo Art House.
Sonic Wilderness dan proyek Kombo dimulai akhir pekan lalu. Dipimpin oleh seniman dan aktivis AGF, Sonic Wilderness mengekplorasi pendengaran dan pembuatan musik dengan alam sekitar. Kelompok musisi muda perempuan yang terlibat datang dari beragam latar belakang, membawa serta sejumlah alat musik, instrumen, elektronik dan ide ke dalam kelompok. Ekspedisi outdoor mereka mencakup sawah, sekolah lokal, kuburan tionghoa-katolik, dan lokasi lainnya di sekitar Yogyakarta. AGF bertutur: “Setiap hari, kelompok ini mengeksplorasi pendengaran dan pembuatan musik dengan lingkungan sekitar. Di sela-selanya, kami melakukan diskusi panjang dan mendalam mengenai pengalaman hidup, budaya, makanan, kewanitaan, hak perempuan, peralatan musik dan musik. Proses penciptaan musik dengan para perempuan luar biasa di tepi sawah dan ruang urban serta pembicaraan kami menginspirasi dan menjadikan saya sangat bersyukur.”
Dibawah arahan Rully Shabara, Kombo dimulai dengan demonstrasi oleh partisipan lokal, dilanjutkan aksi improptu oleh duo, trio dan kelompok musisi dari Asia Tenggara, termasuk Yuen Chee Wai, Sudarshan, Caliph8, Kok Siew-Wai, Setya RKJ, Mahamboro dan lainnya. Pada 9 Oktober, musisi Mesir Nadah el Shazly, dan Ruben Patiño anggota duo asal Berlin, N.M.O juga bergabung. Partisipan Yuen Chee Wai menjelaskan bahwa “Suasananya sangat santai dan kasual, sehingga pemain baru berani mencoba gaya baru yang benar-benar berbeda dari yang biasa mereka mainkan. Awalnya kami kesulitan dengan bunyinya, terutama karena begitu banyak musisi yang bermain, beberapa hari yang kami lewatkan bersama merupakan waktu berbagi dan mengerti bebunyian serta pendekatan improvasi satu sama lain. Seluruh proses ini sungguh bermakna.”
Kombo dan Sonic Wilderness kemudian mempertunjukkan pertunjukkan final pada tanggal 13 Oktober di Eloprogo Art House.
7-8 Oktober dipenuhi oleh berbagai diskusi, di antaranya mengenai budaya membuat (maker culture), jaringan artistik perempuan, pembedahan teknologi melalui lensa (paska) kolonialisme dan lain sebagainya. Mulai 10 Oktober, Nusasonic meluncurkan rangkaian festivalnya termasuk proyek kolaborasi di atas serta beragam performans tunggal.