Tadi akhirnya berhasil juga ke RSD2015. Walaupun panas dan pengap karena asap rokok, saya berhasil ngantongin beberapa Cd dan kaset. Saya pribadi cukup senang dengan pagelaran yang semakin besar dan mulai masuknya sponsor (walau berakibat jadi penuh asap dan tidak bisa mengajak anak kecil) karena menunjukkan kultur ini memiliki daya tarik dan rupanya ada ribuan orang lain yang mempunyai minat sama dengan saya; koleksi artefak musik.
Saya pribadi sejak RSD tahun lalu telah membuat anggaran yang saya sebut RSD Tax, dimana saya menyisihkan sebagian kecil penghasilan untuk dihabiskan membeli rilisan-rilisan di Record Store Day. Ada perasaan senang sekaligus sedih saat tahu rilisan exclusive tahun ini sangat banyak, saya senang karena semakin banyak musisi dan label yang terlibat namun daya saing dompet yang walau sudah dibantu adanya RSD Tax rupanya membuat saya harus memilih untuk membeli sebagian saja.
Kemudian tadi baca ada tulisan di web orang, yang tampaknya ditulis terburu-buru dan bergaya hipster (a’la a’la hipster kritis dengan istilah-istilah susah dan analogi-analogi antah berantah), yang tampaknya dia khawatir akan masa depan RSD karena lirikan dari industri besar ke kancah ini.
Saya sendiri ga khawatir sama yang gitu-gitu, karena orang-orang di industri juga tau kalau pangsa pasar mereka bukan di event seperti ini. Buang-buang energi kalau harus bersaing atau ‘take over’ karena pasar mereka bukan di event ini. Jika mereka berpartisipasipun kemungkinan baru sebatas membuka booth dan menjual rilisan-rilisan yang rada ‘edgy’, seperti kemarin saya melihat ada mbak-mbak berjualan rilisan Hostess Records yang didistribusi via Sony Music. Jika mereka bikin event serupa, ya itu urusan berbeda. Dan para fans musik sejati di Indonesia (seharusnya) tidak kehilangan akal untuk membuat event yang tetap setia pada integritas musik berkualitas. Kalaupun apa yang dikhawatirkan orang itu terjadi, saya tidak terlalu khawatir karena kancah musik berdikari itu sesuai dengan namanya, semestinya akan berdikari. Jika yang sidestream ini sudah dicaplok mainstream maka akan selalu ada sidestream lainnya, mungkin namanya sudah bukan RSD lagi karena mungkin beberapa tahun kedepan sudah tidak ada toko plat piringan hitam; apapun bentuknya nanti dan apakah akan lebih besar atau mengecil saya serahkan pada para pedagang.
Juga karena berbeda dengan di negara sana, penyelenggara RSD di Indonesia lebih organik dan tampaknya sulit untuk di monopoli atau diklaim satu pihak. Bahkan tampaknya tidak terlalu memikirkan jika seseorang pencetus hari raya ini bernama belakang Levin. Karena bagi ribuan orang yang hadir dan berpartisipasi, adalah lebih penting semangatnya dimana naluri mereka untuk mencari musik-musik yang berkenan di hati mereka yang rumit itu terpuaskan. Kalau sekarang masih didominasi rilisan fisik, bukan tidak mungkin di kemudian hari akan lebih banyak pedagang yang menjual kartu nama berisi download code seperti Anoa Records kemarin.
Saya justru lebih memikirkan kalau event seperti ini harusnya bisa terbuka untuk generasi yang lebih muda, dan suasana di area dalam yang lebih bersahabat dengan kesehatan. Kalaupun sponsornya datang dari pabrik rokok mungkin paling ngga ada bagian yang bebas asap rokok dan bisa di hadiri oleh adik-adik kita pencinta musik yang bisa berburu rilisan-rilisan unik. Anak-anak sekolah tersebut penting di edukasi untuk mampu memilah musik-musik berkualitas, dan event akbar ini adalah wahana yang (seharusnya) tepat.
Sebelum anak-anak muda berfikir kalau event sakral ini hanya milik oom-oom lusuh bau keringat yang diadakan di dalam ruangan yang dipenuhi asap rokok.
Beberapa orang yang saya temui berkata “wah hari ini mah mendingan, kemaren gue baru bentar juga dah ga tahan”. Seorang teman yang fans metal juga mengeluh “Padahal gue mau ajak anak gue untuk edukasi”. Saya sendiri terpaksa keluar setelah The Milo karena tidak tahan asap rokok dan bau keringat, yang menyebabkan saya melewatkan The Upstairs dan WSATCC.
Semoga di acara berikutnya, penyelenggara dapat memiliki konsep yang lebih asoi untuk menyelenggarakan hari raya toko kaset ini dengan lebih baik. Usul saya sih untuk branding seperti ini adalah; ada ruang khusus ekslusif untuk para perokok. Contohnya dulu waktu di Rrrec Fest in the valley, dimana ada kegiatan khusus yang di branding, sementara acara besarnya tetap bersahabat dengan mereka yang berusia di bawah 18+. Contoh lainnya adalah sewaktu We The Fest, mereka meyediakan area khusus 21+ untuk berjualan alkohol, dimana alkohol yang dijual di area tersebut tidak diizinkan untuk dibawa keluar.
Dan semoga kancah musik berdikari terus berjaya. Sekian catatan ini saya tulis.
ps : no offence untuk sponsor rokok, karena gue juga dulu kerjasama dengan rokok. Catatan ini dibuat sebagai ide perbaikan bukan untuk menyerang pihak manapun.
ps pt.2 : Pengen bahas soal ‘penimbun’ tapi nanti jadi kepanjangan.
* Telah diedit supaya tulisannya lebih enak dibaca.