Interview : Beeswax

Interviews

Written by:

Jika kalian belum tahu siapa band ini, sedikit saya perkenalkan mereka. Beeswax merupakan kuartet altenative/emo asal kota Malang. Sekarang masih berformasikan Bagas (vokal/gitar), Iyok (vokal/gitar), Putra (Vokal/Bass), dan Yayan (drummer). Dibilang baru juga tidak. Mereka sudah berhasil melepas dua album penuh di tahun 2014 berjudul First Step dan Growing Up Late pertengahan 2015 yang dirilis oleh Barongsai Records. Mereka memang sudah sering  masuk menjadi bahan perbincangan saya bersama kerabat di Malang sewaktu berkunjung ke sana. Intinya, mereka salah satu nama ya sangat direkomendasikan.

Akhir bulan kemarin ,tepatnya 26 Juli 2016,  Beeswax menyambangi Jakarta. Kunjungan kali pertama ini dalam rangka mengikuti kompetisi pencarian band untuk We The Fest. Sebuah kesempatan sayang untuk dilewatkan, tentunya. Dibantu dua personil ‘cabutan’, dikarenakan Putra dan Yayan masih berkutat urusan perkuliahan, tidak mengendorkan animo penonton yang tumpah ruah malam itu.

Besok harinya, saya pun diberi kesempatan untuk ngobrol santai dengan keempat pemuda ini. Dari membahas band hingga perkembangan musik di kota Malang dibalut gelak tawa. Berikut hasil ngobrol-ngobrol santai malam itu di Gudang Sarinah.

 

Jadi belum ada hasil pengumuman kemarin ya? Kalian optimis akan masuk nggak?

Bagas: Belum ada tuh.

Iyok: Optimis aja sih. Cuman bandnya keren-keren semua sih. Persaingannya ketat banget

Bagas: Kalau saya pribadi masa bodo lah dengan hasilnya. Kemaren kita bermain cuman untuk bersenang-senang.

Terlihat sih animonya kemarin. Penontonya dibuat berantakan. Dan intinya kalian masih menunggu hasil dari panitia ya?

Iyok: Iya kita masih menunggu. Tapi nunggunya di Malang. Hehe

*patut dinformasikan bahwa mereka berhasil masuk empat besar dan akan bermain di We The Fest 2016 di hari kedua*

Dan kali ini kalian dibantu oleh kedua  additional player? Kenapa yang kedua personil lainnya tidak bisa datang?

Iyok: Karena yang dua ini sedang, ada urusan…

Bagas: Ada urusan perkuliahan. Jadi kita pilih Afif bassis Shewn dan Agung drummer Write The Future untuk membantu kita.

Dengar-dengar mereka disana juga sedang ngegarap album penuh ketiga ya?

Bagas: Iya. Jadi kemarin ada kabar baik dari Malang, bahwa drummer kita berhasil menyelesaikan 14 track dalam satu shift. Sangat ngirit! Hehe

Kira-kira nih kapan mau dirilis? Bisa dibocorin dikit tahunnya?

Bagas: Target pribadi sih setiap tahun harus rilis. Melanjutkan sebelum-belumnya. 2014, First Step. 2015, Growing Up Late. Semoga 2016 bisa keluar album ketiga. Ya minggu depan lah. Hahaha

Mengenai rilisan kalian berjudul “Growing Up Late”. Di setiap lagu ada artworknya berupa foto. Oleh siapa sih fotografernya? Dan gimana tuh prosesnya sampai bisa kepikiran punya konsep seperti ini?

img_566dc18739c897.92600095

Bagas: Itu dibuat oleh Satrio Wisanggeni. Temen kampus saya. Jadi, emang rencananya kita sepakat, artworknya berupa foto. Terus kita pilih fotografer yang biasanya dekat sama kita. Salah satunya dia. Akhirnya kita pun minta portofolionya. Terus, kita cuman berikan lirik dan lagunya. Satrio yang menerjemahkan secara visual. Kita pun membebaskan proses kreatifnya.

Iyok: Menurut dia yang relevan lirik dan lagunya seperti apa.

Bagas: Dan kita juga berikan clue sih. Pokoknya yang 90’an banget. Hasil akhirnya seperti itu.

Bicara soal warna musik kalian, bisa dibilang kalian pendatang baru di kota kalian yang memainkan American Midwest. Kenapa kalian mencoba menyuguhkan itu?

Bagas: Satu, alasannya nostalgia. Dua, ya emang karena suka. Karena hampir keseharian saya mendengarkan musik seperti itu.

Iyok: Basically, Emo. Hehe

Yoi, bicara soal Emo. Tidak lama kemarin kolektifan Sobat Indie bersama We Hum dan Holytunes juga sempat sempat menyelenggarakan karokean Emo. Dan membangkitkan kembali Emo dari tidur lamanya. Paska acara tersebut, ada yang sempat berkicau di twitter “2005: Emo are Fag. 2016: Emo so Nostalgic” gimana tanggapan kalian?

Bagas: Iyasi, kalo liat di permukaan emang faggot. Tapi, sebenernya nggak juga. Hahaha

Dan melihat perkembangan musik di Malang sekarang itu saya merasa seperti Bandung era 2000’an ya? Kalian merasa nggak sih pergerakan musik disana sedikit lambat?

Bagas: Ya emang tidak kita pungkiri.

Afif:  Tapi sebenarnya bukan lambat. Istilahnya tuh ‘ngepur’.

Bagas: Yoi, Kalo di Bollywood kan jagoan menang terakhir. Hahaha

Afif: Malangwood!

Kalau kita membahas soal musisi yang regenerasi disana bagaimana sih dari kacamata kalian?

Afif: Kalo sekarang sih regenerasi udah mulai. Kalau dulu yang main band-band itu aja, kalo sekarang keluar band-band baru muncul ke permukaan. Udah mulai berani. Dan band-band baru tadi udah mulai berani merilis fisik. Terus udah mulai mencoba bermain ke luar Malang juga. Jadi regenerasi dari kacamata saya sedang dalam proses.

Agung: Ya memang. Mungkin generasi sekarang itu berkaca dari pengalaman-pengalaman musisi sebelum kita. Bagaimana sih awal mereka mulai dan berkembang menjadi seperti sekarang. Mereka (generasi baru ini) melihatnya seperti salah satu ilmu. Yang kita berkaca dengan pengalaman sebelumnya. Punya target harus lebih dari yang dulu dan harus lebih lagi. Bukan berarti kita tidak menghormati atau melangkahi. Sebagai acuan saja. Soal kebangkitan Emo tadi mau menambahkan aja nih, gue gak setuju. Bahwa Emo tuh nggak pernah atau akan mati. Soalnya emo nggak harus gitu-gitu aja. Pasti akan eksplorasi terus. Dan berkembang terus layaknya musik seperti biasanya.

Afif: Asiiik… Agung temen gue! Hahaha

Bagas: Balik lagi nih, kalau emang ada orang yang beranggapan di Malang kurang beregenerasi itu nggak juga. Tapi sepertinya memang cara pendekatannya saja yang kurang kepada penikmat. Dan medianya. Mungkin masih banyak kurang tahu cara mempromosikan band mereka sendiri. Seperti memasarkan, menjual, dan mendistribusikannya. Jadi kita pun melihatnya mereka masih kebanyakan berkutat dalam idealisme mereka dengan cara produksinya. Udah lah itu tinggalin. Itu sudah so yesterday!

Iyok: Gue setuju sih sama semuanya. Soal pergerakan regenerasi di Malang sebenernya masih banyak banget potensi yang ada di sana. Cuman emang belom muncul aja. Bukan berarti nggak ada. Sedang mempersiapkan yang terbaik untuk dinikmati.

IMG_20160801_0028

Tapi menurut kalian salah satu faktornya apa?

Iyok: Yang paling utama sih dari faktor finansial. Itu kan mempengaruhi semuanya hahaha.

Bagas: Ya tadi itu, faktornya masih belum tahu cara memasarkan atau pun menyebarkan.

Agung: Gue setuju sama keduanya. Emang masalah klasik sih faktor finansial. Dan dibutuhkan tim yang solid juga. Yang penting kan konsisten, bukan enak terus tenggelam.

Sejauh ini menurut kalian, Beeswax sudah punya tim yang solid nggak?

Bagas: Solid sih. Mungkin yang menjadi PR adalah cara menyiarkan seluas-luasnya saja. Bagaimana caranya orang diluar lingkaran kita bisa ikut mendengarakan juga. Sambil dipelajari dan sambil jalan.

Afif: Ya solid sih. Buktinya bisa masuk kompilasi emo se-Asia. Apa namanya?

Bagas: “Emotion, No”

Wah ceritanya gimana bisa masuk kompilasi tersebut?

Bagas: Jadi awalnya kan, Beeswax upload lagu Wellspring di soundcloud. Yang waktu itu ada kejadian apa ya?

Iyok: Kejadian mata air yang diambil alih sama salah satu hotel di Batu, Malang. Warga sekitar kekurangan air. Sebenernya lagu itu nggak nembak isunya langsung. Cuman terinspirasi sama kejadiannya aja. Ibarat kita punya sesuatu, tapi kita lupa sewaktu-waktu diambil sama orang, kita baru sadar itu berharga untuk kita.

Bagas: Nah, terus mereka (Uniteasia) akhirnya menemukan lagu tersebut di soundcloud. Langsung mereka mencari kontaknya Beeswax, Kebetulan, yang mereka dapatkan kontaknya saya lewat Facebook. Ceritalah mereka yang berencana bikin kompilasi. Dan Uniteasia mencarikan juga band-band yang bisa ‘ngepas’ lah dengan Beeswax. Kalau dari Indonesia ya cuman kita saja.

Bisa kalian rekomendasikan satu band Malang? Dan kenapa kalian merekomendasikan mereka?

Iyok: Write The Future. Soalnya mereka menyuguhkan hal yang baru di skena pop-punk. Jadi recommended banget kalo yang doyan pop-punk Midwest.

Bagas: Shewn. Karena materi bagus. Pertama kali dengar langsung suka. Biar Afif senang aja nih hahaha. Sayangnya mereka lambat. Buruan dong rilis sesuatu lagi.

Afif: Kalo aku, Frank! Itu band resek tapi enak didengar. Resek di panggung terus bandnya raw banget deh.

Agung: Band di Malang yang wajib didengar sebenernya banyak yang mencuri perhatian. Mungkin salah satunya Much. Soalnya, di Malang jarang gitu band yang mengusung alternative. Kebetulan juga Much sendiri vokalis cowok dengan ceweknya pacaran jadi emosionalnya dapet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *