Terlalu Punk Untuk Pemberhalaan pt.02

Artikel/Opini

Written by:

‘punk harus murah!’

Mendengar ocehan Yongki tentang ‘punk harus murah!’ dan ancaman aduannya ke Berry membuat saya penasaran dengan apa yang dijajakan Trash Shop yang terletak hanya sepelemparan batu, tepat di belakang kanan lapak kami. Ketika didatangi ternyata Berry sedang kedatangan seorang penggemar Antiseptic yang mampir untuk menyapa.

“Salut, Bang! Album Best of-nya bagus banget, saya suka.”

Yang ditingkahi Berry lewat senyuman. Menit selanjutnya dua ratus lima puluh ribu sudah mengalir ke kantongnya ketika LP Stryper In God We Trust ditebus oleh seorang pembeli tanpa banyak tawar. Di boksnya sendiri saya lihat Total Chaos, The Adicts, The Varukers, The Cramps sedang berdiri saling sandar, dan satu yang paling mencolok mata, A.M.Q.A – Mutants Cats From Hell. Rata-rata harganya dua setengah sampai tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Taksiran saya: kalau ditawar paling mentok turun lima puluh ribu.

Mungkin saya yang terlalu ‘punk’ alias kere kalau masih menganggap itu terlalu mahal.

Berikutnya mampir di Jim Gorjy yang mejanya didominasi CD. Tidak ada plat. Mungkin sedikit kaset. Malah banyak buku yang sebagian besarnya literatur rock & roll. Ada No Regrets memoir Ace Frehley, kumpulan wawancara The Stone Roses – War And Peace, Pete Doherty: On The Edge dan sepaket The Rolling Stones, biografi The Wild Life and Mad Genius of Jagger sampai buku besar foto mereka, 50 x 20.

Gorjy sedang terlibat bincang santai tapi menjurus dengan seorang pemuda tanggung yang sedang mencari rilisan Indonesia di lapaknya. Dia menyapa dengan dagunya ketika menyadari saya datang, tidak menghentikan bicaranya:

“Nggak ada kalau Indonesia. Lagian gua nggak suka juga sama musik Indonesia,” selorohnya.

Pemuda tadi tersenyum kikuk tapi juga kelihatan malas ambil pusing. Dia ada di sini untuk beli musik bukan diskusi dengan orang yang mungkin akan meladeninya hingga sore hari dan melebar kesana kemari. Melihat lawannya tidak menanggapi dan lebih asyik mencari lebih lanjut nama-nama barat di depannya, Gorjy meneruskan lagi kalimat yang sekiranya tanggung tadi. “Buat gua,” katanya, “mereka itu nggak orisinil. Gimana ya… semacam followers gitu, lah. Ikut-ikutan doang.” Matanya melirik ke arah saya.  Saya menyapanya balik pun dengan gerakan dagu.

Ini dia nada kritis penggemar musik: penghakiman mana yang bagus dan yang buruk. Saya sudah cukup akrab dengan hal macam itu, dan sejujurnya inilah tipe manusia kesukaan saya. Selalu menilai sepihak berdasarkan hatinya; apapun alasannya. Subjektif. Terutama untuk menyeleksi apa musik yang dia asup. Persoalannya hanya suka atau tidak suka dan cocok atau tidak cocok. Itu saja. Snob? Bisa jadi, tapi kita tetap tidak bisa menyalahkan atau membencinya atas apa yang telah dia rasakan. Karena menurut saya, kesopanan basa basi hanya akan menuntun kita menuju kebodohan, sedangkan subjektivitas adalah setitik nilai kejujuran. Itulah yang diperlukan oleh jaman kemunduran seperti sekarang ini. Lagipula siapa lagi yang seharusnya menilai musik kalau bukan pendengarnya sendiri.   

Saat itu Marsh Kids sedang mengayun dari atas panggung.

Nah, yang ini Beatles versi tenggak downer kalau mengikuti cetusan Gorjy barusan. Mereka tengah membawakan “I Saw The Light”-nya si gigi Chicklet, Todd Rundgren. Drummer mereka menyukai pukulan ganjil, sangat Ringo Starr.

Pemuda musik lokal tadi pun tidak lama menyingkir. “Terima kasih, Bang,” katanya ramah.

“Iya. Kalau nggak ada yang cocok, nggak beli juga nggak apa-apa. Kita bisa ngobrol-ngobrol,” balas Gorjy tidak kalah ramah.

Saya yang sudah selesai menyisir rak bagian kanan sekarang bergeser ke tengah. Barangnya benar-benar bersih dari Indonesia, bahkan kaset-kasetnya pun. Kebanyakan katalognya adalah alt-rock, walaupun sebenarnya cukup beragam juga. Saya lihat hari itu dia menjual dari Sponge, Rocket Science, Toadies, Mansun, Reef, sampai Millencolin, Buck-O-Nine, Pride & Glory, Phish dan lebih banyak lagi yang saya tidak kenal.

“Lo bener-bener nggak jual Indonesia, ya?” saya mengangkat Sixsteen Stone, Bush.

“Bukannya apa-apa… gua emang nggak suka musik Indonesia.”

“Masa, sih. Band-band independen kayak, yang gede-gede, deh.. The Sigit gitu, atau Seringai, misalnya,” kata saya. “Tapi kalau lo ngomong mereka followers, ya iya sih. Sulit juga. Kalau nggak, Gesang pasti udah punya rumah di Pondok Indah.”

Dia tertawa. “Sebenernya karena nggak ada yang bener-bener gua suka banget, sih. Sigit, gua mending dengerin Datsuns sekalian. Atau kayak Arian, deh. Puppen gua suka, tapi dia itu nggak bisa nyanyi. Suaranya nggak jelas, kayak kumur-kumur gitu.”

“Ya memang dia bukan penyanyi. Tapi liriknya, kan keren. Sigit juga album terakhirnya nggak gitu-gitu banget,” kata saya setelah tertawa.

“Iya. Tapi tetep aja nggak enak didenger.” Saya tertawa lagi, dan mencoba mencari perbandingan yang lain.

“Kalau Plastik?”

“Nah, kalau Plastik gua suka. Mungkin karena grunge kali, ya. Tapi band Potlot lainnya, kayak Flowers gitu, nggak suka. Slank juga. Kenapa ya..” dia mencari alasan, “mungkin karena liriknya kayak orang curhat kali, ya.”

“Itu jujur namanya. Nggak pakai banyak metafora.”

“Tapi Dewa 19 gua suka, sebelum Ari Lasso diganti, ya. Pandawa Lima itu salah satu album lokal paling keren menurut gua. Dari segi komposisi maupun lirik. Terobosan. Sama kayak Swami juga. Siapa coba musisi luar yang musiknya kayak mereka gitu?” katanya lagi.

“Itu masa-masanya Ahmad Dhani jadi jenius. Gua setuju. Walaupun album satu sama dua kayak dengerin Firehouse juga, sih, White Lion…” lanjut saya, “ya dibanding yang sekarang, parah banget. Jelek-jelek lagunya dia. Nggak ada yang penting. Banci tampil pula.” Saya tertawa. “Nggak tahu terlalu jenius, nggak tahu panik ngerasa udah nggak bisa bikin lagu bagus lagi. Jadinya lebih sering cari perhatian, agak mirip Farhat Abbas gitu, kali ya.”

Saya mengambil Relationship of Command, album terakhir At The Drive-In yang berdiri menyamping di boks. Tidak jauh dari situ terdapat juga The (International) Noise Conspiracy, lupa album yang mana. Harganya seratus lima puluh ribu yang sukses menimbulkan, kalau kata lagu Benny Panbers, Bimbang dan Ragu. Beli atau tidak. Atau minimal kasih penawaran saja dulu. Saya perkirakan mungkin bisa kurang jadi seratus ribu.

Sementara itu Gorjy masih menimpali kasus Ahmad Dhani tadi dengan contoh lain: Gabriel Bimo Sulaksono. Dia bilang kalau Bimo adalah otak sesungguhnya dari Netral, yang ketika akhirnya hengkang berarti juga memberi andil besar terhadap perubahan musik Netral jadi seperti sekarang ini. “Kayak Blink 182 – apalagi drummer-nya,” katanya. Kalau itu yang dimaksudkan, saya sepenuhnya mengerti.

“Dan Bimo sekarang juga bikin lagu yang jeleknya sama kayak Ahmad Dhani,” timpal saya sambil membuka sampul berwajah kuda Troya kuning At The Drive-In itu. Produsernya Ross Robinson.

Tawaran seratus ribu saya ternyata diterima. Tapi inilah sebuah kebimbangan: saya tidak jadi membeli salah satunya. ‘Nggak beli juga nggak apa-apa, yang penting kita bisa ngobrol’ – saya ingat kata-katanya tadi itu, dan segera permisi cabut ke tiga deret lapak di seberang Gorjy.

Itu adalah para dedengkot Blok M Square. Dari ujung, Kucluk Music Corner, Twins Music dan D’Jaduls. Di belakang mereka ada Warung Musik milik Agus WM, bos Majemuk Records. Saya akan mengurutnya satu per satu. Yang pertama adalah Ridwan, di mana saya berjongkok dan melihat, sesuai nama tokonya: album-album jaman dulu.

Lalu iseng memulai dari bagian Indonesia, tapi kemudian tidak butuh waktu lama untuk tersesat. Hanya sedikit yang saya kenal dari setumpuk kompilasi keroncong, orkes melayu dan instrumentalia; hanya beberapa nama saja yang pernah dengar dan lihat tidak sengaja, Dara Puspita A Go-Go, Alfian, C’Blues, Sam Saimun, Ernie Djohan, dan Kus Bersaudara yang kalau tidak salah ingat dijual satu juta rupiah.

Musik-musik Indonesia era itu, 50’ sampai 80’ kecuali beberapa kelompok rock dan penyanyi balada-nya memang belum mampu sepenuhnya menarik hati saya. Musiknya tanggung, sealbum hanya satu atau dua lagu yang masuk selera. Selebihnya cengeng; pesanan cukong label. Ditambah lagi dengan harganya yang ikutan naik akhir-akhir ini, membuat saya kembali menangguhkan penggaliannya. A Go-Go tadi diberi harga empat ratus oleh Ridwan. Selebihnya paling murah mungkin seratus ribu.

Saya baru merasa agak aman di wilayah barat. Nama-namanya lebih akrab. Astrud Gilberto, Wilson Picket, The Hollies, Sam Cooke, Billy Joel, Chicago, Budgie, Badfinger, Thin Lizzy. Harganya? Paling murah dua ratus. Juga terdapat satu kotak berisi urutan album Beatles dan Stones sealed re-issued yang diletakkan di atas kursi di sebelah seksi kaset dan CD: empat ratus ribu sebiji pukul rata.

Bergeser ke kiri adalah Twins Music yang dikelola oleh si kembar Anda-Andi. Salah satu toko rekaman yang masih bertahan dari era piringan hitam bisa didapat dengan uang tiga puluh ribu perak, bahkan untuk album Clash, Ramones atau Joy Division. Itupun sudah mahal waktu itu, kata Tarigan.

Dari sekian banyak plat di sana saya hanya mengangkat dua, Government Issue – tidak sempat tanya harganya, dan segera kehilangan minat begitu tahu Magical Mystery Tour di tangan saya ini dihargai empat ratus ribu. Cetakan pertama memang, Capitol Records 1967, tapi tetap saja mahal. Saya sedang tidak berminat dengan barang-barang mahal. Apalagi booklet di tengah gatefold-nya sudah hilang. Tanpa itu kita tidak bisa menyebutnya berkondisi mulus. Menawar saja segan.

Album Beatles yang dihargai di atas tiga ratus ribu sebenarnya menyiarkan sinyal buruk. Saya langsung ingat Kims Varia. Bagaimana nasib LP rock 70an dari Rendi? Dan kalau Gun telah menjualnya balik dengan harga sama seperti Magical Mystery Tour tadi, celaka sudah, saya tidak akan mampu bersaing dengan oom-oom classic rock dan para hipster itu di sini. Sontak segera cabut kesana dan terpaksa tunda dulu tengok-tengok ke Kucluk dan WM. Kita lihat seberapa besar naluri ambil untung yang terjadi di bazaar ini.

Sebelum beranjak saya sempat melirik ladang ganja Peter Tosh menghampar di sampul kebun Legalize It. Andi membandrol dengan tiga jari ketika saya mencoba memetik pucuknya – itu harga setengah garisnya di sini, dulu. Sempat terbersit pikiran untuk membelinya dan memaketkannya ke Istana agar Joko Widodo bisa mendengar keindahan seperti itu bukanlah ancaman bagi keselamatan negara, pun jika dibandingkan dengan ganjaran tiang penjaranya. Ah, tapi dia hanya boneka, tidak bisa banyak berbuat apa-apa, sudahlah, hanya menulis ini saja yang bisa saya lakukan sekarang. 

‘Every man got to legalize it, and don’t criticize it… It’s good for the flu, a good for asthma… Good for tuberculosis, even umara composis… And I will advertise it..’

Saya langsung ingat Jose Mujica. Ingat juga Anang Iskandar, dan segenap rantai babi cokelat yang siap setiap saat memeras kita kapan saja.

  • Bersambung

Tulisan ini adalah rangkaian tulisan bersambung yang dirilis dalam rangka menyambut Record Store Day 2016. Ditulis dengan inspirasi akan pengalaman Dr.Marto di Record Store Day Jakarta tahun 2015 tahun kemarin.

Klik di tautan ini untuk membaca seluruh serinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *