Orde barter dan seberapa banyak Rp. 500.000 bisa bicara di Record Store Day tahun ini? pt.02

Artikel/Opini

Written by:

‘Joni is about four letter words: It’s a J, like a Jay… and the O, like ‘oh my god’… and N, it’s like narcotics… and I, it’s like ‘I wanna be Johnny…’

Bazaar RSD 2015 berlokasi di gedung bekas Golden Truly, Blok M tepat di jantung Selatan kota Jakarta tempat babi-babi cokelat bermarkas. Kami sedang menanti lampu hijau di antrian perempatan Melawai ketika saya dan Rendi kembali merokok bunga tanpa membuka kaca jendela, yang dimaklumi Tarigan dan Acum yang sudah lama berhenti merokok itu. Stereo memutar Blueboy, “Imipramine”.
“Vid, gua nemu band lokal keren nih,” kata Rendi menancapkan kabel aux. “Agak mirip Stereolab, vokal sama intronya.”

Tarigan hanya mengangguk, tapi Acum penasaran ketika lagunya terputar, yang ternyata memang benar mirip band Slumberland Records tersebut. Psyche rock ringan dengan duet vokal lelaki dan perempuan khas indie-pop yang serasi.
“Apa namanya?” tanya Acum.
“Flash,” jawab Andy sambil mengoper bunga ke belakang, dia menyentuh tanda forward, “tapi musiknya berubah-ubah. Coba lo dengerin yang ini, deh.”

Benar, musiknya sekarang terdengar lebih gelap, psychedelic muram dengan vokal yang menerawang. Yang begini ini sedang mewabah, pikir saya; anak-anak penanda zaman yang kalau disebut hipster rasanya terlalu berdosa. Kita bisa mendengarnya sesering dulu peniru Julian Casablanca sibuk bertebaran, minum anggur murah dengan rambut berantakan dan Converse merah mereka. Kini, semua orang berlagak jadi hippie kaki telanjang-nya Kevin Parker, atau yang paling gampang, Lou Reed begitu membentuk band, kembali ke 60an dan menenggak anti-deppresant. Berlomba-lomba mengawang.
Kemudian Rendi mengganti lagi lagunya. “Nah, yang ini coba… Pengen gua bikinin seven inch-nya kalau bisa.”
“Siapa lagi?”
“Lo coba dengerin aja. Kemarin gua kasih denger ke Rio, dia juga nggak nyangka ini siapa awalnya.”

Saya yang duduk di belakang cuma cengengesan mendengar ocehan itu, karena sudah tahu. Sebenarnya Rendi sedang melihat peluang bisnis di sana, dan Tarigan yang sedang digodanya. Sementara mobil masih merayap, Tarigan langsung tertawa keras ketika suara moog pembuka lagunya dimulai. Dia tampak mengenali bebunyiannya dengan sangat jelas.
“Taiiii, denger dari mana lo nih?”
Rendi tertawa puas. Saya dan Acum juga. “Jadi mau nggak kalau dibikinin donat-nya, Vid?” tanya saya.
“Nggak tahu di mana masternya, masih ada yang nyimpen kalau nggak salah. Mesti dicari dulu. Itu lo denger darimana, Soundcloud?”
“Iya, dari akunnya si Iyo. Cuma ada satu lagu ini doang,” jawab Rendi.
“Anjing.. “Electricalia”, itu tai banget. Ngasal dulu rekamannya…”

Dan kata-kata sudah mulai keluar dari mulut Tarigan. Pria yang telah memeluk musik, mengimaninya ibarat memberi luka tambahan berbunyi ‘blues’ di lengan kiri kalung Yesus-nya yang tertancap paku; dia menggali artefaknya, menyimpan, menjaganya seperti emas 666 karat sekaligus memproduseri, perpustakaan berjalan, pengarsip, pengadil, penulis, gitaris, DJ, penyiar, ahli sejarah rock yang disegani dan tokoh penting kancah independen lokal. Dia seperti John Peel bagi Indonesia. Dick Tamimi era Instagram. Aksara Records.

Serta yang paling menyenangkan, selain wawasan dan pengalamannya yang luas, Tarigan juga seorang pencerita yang sangat baik. Seolah memori otaknya beratus giga byte. Suaranya yang berat dan hangat serta gerak tubuhnya yang digesturkan membuatnya terlihat begitu menarik. Kita tidak akan bosan mendengarkan ceritanya satu per satu. Dan untuk itu tidak perlu menunggu lama lagi. Tinggal pancing sedikit saja, maka dia akan mengalir dengan sendirinya.
“Gua paling inget lagu yang di kompilasi Ticket To Ride,” kata saya.

Tarigan tertawa. “Itu lagi!” katanya, “paling jelek rekamannya si Jonis di album itu. Cuma pakai empat track doang, masih pita. Rekamannya juga cuma di taman depan rumahnya si Iyo. Anak-anak pada duduk-duduk di rumput gitu… drumnya nggak pakai simbal sama hi-hat… gitar yang gue pake juga cuma lima senar. Itu beneran asal, parah… senarnya karatan lagi. Ngaco pokoknya.”
“Anjing, sih… Si iyo tuh nyanyinya pakai teks, ya? Kayak lagi baca novel bokep gitu.”
“Nggak ada… udah ngarang aja dia, ngarang bahasa Prancis. Nggak ada artinya juga. Iyo sampe tidur-tiduran nyanyinya di rumput.” Tawanya melebar. “Lo tahu, kan pas lagi mulai lagunya…,” Tarigan menyuarakan suara intro drum dengan mulutnya, kedua tangannya pun otomatis air drumming menyalakan dentum tom, “itu ada, ‘ough, smoke..’, gara-gara pas mau mulai nyanyi, dia ngebakar rokok tapi asapnya kebanyakan…”
“Punya berapa lagu, sih Jonis?”
“Asal manggung buat satu lagu, jadi setiap manggung kita selalu buat lagu baru. Punya lima atau enam, gitu…”

The Jonis adalah band psychedelic-trip gila berumur pendek yang didirikan Tarigan pada akhir tahun 90an di Bandung. Mereka kurang suka merekam dengan layak dan secara tidak jelas berhenti aktif, mungkin di tahun 2005. Tarigan sendiri lupa kapan tepatnya. Musiknya lebih maju satu setengah dekade dari kancahnya dengan mencampurkan dekadensi beatnik dan eksotisnya psikotropika masa muda. Aksi mereka sensasional, termasuk menggaet gadis-gadis pemandu sorak ke atas panggung, dan Iyo, penyanyinya yang berkostum singlet – bercelana voli pendek mirip Pablo Escobar kerempeng, berjoget kejang nan erotis bagai Ian Curtis berpotongan rambut Iwan Krisnawan, drummer pertama The Rollies yang kecanduan meth. Persis deskripsi Tarigan dalam Inggris nyeret pada dokumenter singkat Ticket To Ride empat belas tahun silam.

‘Joni is about four letter words: It’s a J, like a Jay… and the O, like ‘oh my god’… and N, it’s like narcotics… and I, it’s like ‘I wanna be Johnny…’

-bersambung-

Tulisan ini adalah rangkaian tulisan bersambung yang dirilis dalam rangka menyambut Record Store Day 2016.
Ditulis dengan inspirasi akan pengalaman Dr.Marto di Record Store Day Jakarta tahun 2015 tahun kemarin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *